DINAMAI Jalan Keramik karena terdapat sejumlah usaha rumah tangga pembuatan keramik atau gerabah di wilayah itu, tepatnya di Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu.
Usaha gerabah itu sudah berlangsung sejak lama, turun temurun.
“Ini masih peninggalan nenek saya,” kata salah seorang perajin setempat.
Meski “tertatih-tatih”, usaha itu tetap berjalan dan dikerjakan perempuan-perempuan paruh baya.
Bahan bakunya berupa tanah liat yang didatangkan khusus dari dari sekitar gunung Gawalise. Tapi tidak semua tanah dari gunung itu bisa dijadikan bahan baku. Tanah itu ada spesifikasi khususnya agar kuat diolah menjadi gerabah dan tidak mudah pecah.
“Bahan baku itu diangkut dengan ojek,” imbuhnya.
Sehari, setiap perajin bisa memproduksi hingga 50 buah pot kecil berdiameter sekitar 15 cm. Produksi sebanyak itu kalau focus mengerjakannya seharian dan tidak ada acara kawinan atau pesta di tetangga.
Kebanyakan di antara perajin memproduksi gerabah berdasarkan pesanan. Namun ada juga yang membuatnya sebagai stok.
Masalah jika waktunya sudah sampai tahap akhir atau prosesi pembakaran. Pembakaran dilakukan di tempat terbuka menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Nah, kalau hujan tentu tidak bisa dibakar.
“Itulah kesulitannya karena kami tidak punya tungku bakar. Dibakar secara alami saja,” tambanya.
Padahal menurutnya, jika ada tungku bakar, selain kontinuitas produksi bisa dipertahankan, kualitas gerabah yang dihasilkan juga pasti lebih baik.
Gerabah yang sudah diproduksi akan dijemput para pedagang untuk dijual di pasar-pasar.
Saat ini, masih ada belasan usaha gerabah seperti ini yang masih bertahan di wilayah itu. Jumlahnya makin menyusut dari tahun ke tahun karena tidak banyak anak muda yang menekuninya.
“Anak muda sekarang taunya cuma main HP, tidak ada yang mau belajar gerabah,” akunya. (bmz)