DENTING suaranya menggema hingga ke seluruh sudut ruangan. Hampir semua yang hadir terkesima mendengarnya, nyaris tak bisa berkata-kata. Apalagi yang memainkannya adalah seorang dara muda yang lincah dan gesit memindahkan jemarinya memukuli bagian satu ke bagian lainnya.
Suara itu banyak dirindukan karena tidak setiap saat bisa terdengar. Bahkan mendengarnya di zaman now menjadi sesuatu yang special. Dulu, di acara nikahan, sunatan, bahkan syukuran kecil, kurang afdhal melaksanakannya tanpa iringan musik ini. Tapi itu dulu, saat ini elekton, orkes dan sejenisnya menyingkirkannya.
Ya, seni musik tradisi berjudul kakula ini memang hampir tenggelam ditelan zaman. Tidak banyak lagi yang bisa memainkannya, kecuali orang-orang tua yang jumlahnya pun bahkan dapat dihitung jari.
Tapi di kesempatan Rembuk Budaya yang digelar Direktorat Jenderal kebudayaan Kemendikbud dan Riset Teknologi di Kelurahan Nunu belum lama ini, Kakula menjadi salah satu pementasan yang menarik minat seniman yang hadir.
Tidak semata karena yang memainkannya sangat piawai, tetapi juga karena pemainnya adalah seorang perempuan muda. Banyak yang berbisik jika ini terbilang Istimewa, betapa tidak, selama ini Kakula identik dengan orang-orang tua sebagai pemainnya.
Perempuan muda itu begitu lincah menarikan lengannya, berpindah ke pukulan yang satu ke pukulan yang lain, ritmenya teratur mengikuti irama yang dianutnya. Mengalir saja, dan lepas begitu saja, seperti air yang terus mencari dataran rendah.
Perempuan muda itu menjadi cercah terang untuk keberlangsungan musik tradisi Kakula ketika yang muda-muda lainnya asyik memainkan elekton. Di pundaknya, banyak yang menggantungkan harapan pada seni musik tradisi ini. (bmz)