KETIKA dibuka untuk publik dua tahun lalu, Hutan Kota yang dijuluki “Kaombona” jadi riuh. Hampir tidak ada warga di seantero Palu yang tidak mengenalinya, bahkan pernah “cuci mata” di tempat itu.
Orang tua, dewasa, anak-anak, remaja, tak terkecuali yang jomblo sekali pun pernah merasakan sukma di rerindang akasia dan bahkan tertusuk duri di seliweran kaktus di tempat yang dulunya bergunduk nan terik.
Di sana ada fasilitas olah raga, Taman Kaktus, jajanan kuliner, bahkan warkop. Ada pula valerium teater, meski paripurnanya tak tuntas. Kelam malam tak membuat merinding karena cahaya dari tiang-tiang listrik yang tertancap dekat terotoar telah berbaris rapi.
Sebuah keluarga dengan setelan Hanbok sedang asyik bergaya. Ia duduk di atas becak tak berpedal. Klik… fotografer itu mereview jepretannya. Penyedia jasa sewa pakaian pun tersenyum, Hanbok yang didatangkan khusus banyak diminati pengunjung.
Kedai menyapa pengunjung yang haus dan lapar di bilik-bilik kontainer. Tak sekadar menyiapkan kuliner, di sana ada view yang mempertontonkan dimensi Kota Kaledo, juga cakrawala di batas langit.
Tapi berselang setahun, ada suara histeria dari belakang di Taman Kaktus. Seorang remaja putri mengusap betis belalangnya yang terluka. Kakinya terperosok di jembatan kayu yang telah lapuk. Ia menyumpahi perawatan taman itu.
Berselang… riuh itu berubah sepi. Lalu lalang kendaraan di hitung jari, ilalang tumbuh subur, gulita yang menyeramkan, pendapatan parkir pun seret, air pun makin susah didapatkan, keluh bagi pejajan kuliner.
“Kalau begitu, mari kita kembali ke asal, dari Hutan Kota ke Hutan Desa” kata Amin, warga Talise.